Gadingan (29/09/2016) – Untuk mengenal sosok pahlawan revolusi yang
gugur atas peristiwa kekajaman G30S/PKI, berikut ini biodata beberapa Pahlawan
Revolusi yang dapat kami sajikan secara singkat antara lain :
1.
Jenderal Ahmad Yani
Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani lahir di Jawa Tengah, 19
Juni 1922 meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43
tahun. Adalah Komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh
oleh anggota Gerakan 30 September. Ahmad Yani lahir di Jenar Purworejo, Jawa
Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga Wongsoredjo, keluarga yang bekerja
di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik Belanda. Pada tahun 1927, Ahmad
Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya kini bekerja untuk
General Belanda. di Batavia.
Ahmad Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar dan
menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani
wajib militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi
militer di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan
pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Ahmad Yani dan keluarganya pindah kembali ke Jawa
Tengah.Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta
(Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah
menyelesaikan pelatihan ini, Ahmad Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan
peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan.
Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.
2.
Letnan Jenderal R. Suprapto
Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di
Jawa Tengah, 20 Juni 1920. Meninggal di Lubangbuaya Jakarta, 1 Oktober 1965
pada umur 45 tahun. Adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan
salah satu korban dalam G30SPKI dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Kalibata, Jakarta. R. Suprapto yang lahir di Purwokerto ini boleh dibilang
hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun
lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO
(setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang
diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda
mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah
ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.
Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang
sudah keburu mendarat di Indonesia. Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan,
tapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia
mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan
keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan
Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta
berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu,
ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah
awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia
ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun
perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat
Indonesia pada umumnya.
3.
Letnan Jenderal Haryono
Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo
Haryono lahir di kota Surabaya Jawa Timur, 20 Januari 1924. Meninggal di Lubang
Buaya Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun. Adalah salah satu pahlawan
revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Letjen Anumerta M.T.
Haryono sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar)
kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS,
ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di
Jakarta, namun tidak sampai tamat.Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang
sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang
mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan
masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh
pangkat Mayor.Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara
tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia
ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam
perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan
sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil
Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan
Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer
Indonesia.
4.
Letnan Jenderal Siswondo Parman
Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman
lahir di Wonosobo Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Meninggal di Lubang Buaya
Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 47 tahun. Siswondo Parman atau lebih dikenal
dengan nama S. Parman adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia dan tokoh
militer Indonesia. Ia meninggal dibunuh pada persitiwa Gerakan 30 September dan
mendapatkan gelar Letnan Jenderal Anumerta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata,
Jakarta. S. Parman merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang
kegiatan PKI. Dia termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak
rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.
Penolakan serta posisinya sebagai pejabat intelijen yang tahu banyak tentang
PKI, membuatnya menjadi korban penculikan oleh Resimen Tjakrabirawa yang
dipimpin Serma Satar. Penculikannya diduga diatur oleh kakak kandungnya
sendiri, yaitu Ir. Sakirman yang merupakan petinggi di Politbiro CC PKI kala
itu.
5.
Mayor Jenderal Pandjaitan
Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac
Panjaitan lahir di Sumatera Utara, 19 Juni 1925. Meninggal di Lubang Buaya,
Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun adalah salah satu pahlawan revolusi
Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pendidikan
formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan
terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas,
Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota
militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan
sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para
pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi
TNI. di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian
menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.
Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera.
Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat
menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI).Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, Indonesia pun
memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi
Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan.
Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T
II/Sriwijaya.Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia
ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya
telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak
lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada
Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk
menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah
terakhir yang diembannya saat peristiwa G 30/S PKI terjadi. Ketika menjabat
Asisten IV Men/Pangad, ia mencatat prestasi tersendiri atas keberhasilannya
membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina (RRC) untuk
PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam
peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo
(Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI
yang sedang giatnya mengadakan persiapan melancarkan pemberontakan.
6.
Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo
Mayor Jendral TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
lahir di Jawa Tengah, 28 Agustus 1922. Meninggal di Lubang Buaya Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 43 tahun. adalah seorang perwira tinggi TNI-AD yang
diculik dan kemudian dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September di Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Sutoyo bergabung ke
dalam bagian Polisi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional
Indonesia. Hal ini kemudian menjadi Polisi Militer Indonesia. Pada Juni 1946,
ia diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Soebroto, komandan Polisi Militer. Ia
terus mengalami kenaikan pangkat di dalam Polisi Militer, dan pada tahun 1954
ia menjadi kepala staf di Markas Besar Polisi Militer. Dia memegang posisi ini
selama dua tahun sebelum diangkat menjadi asisten atase militer di kedutaan
besar Indonesia di London. Setelah pelatihan di Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat di Bandung dari tahun 1959 hingga 1960, ia diangkat menjadi
Inspektur Kehakiman Angkatan Darat, kemudian karena pengalaman hukumnya, pada
tahun 1961 ia menjadi inspektur kehakiman/jaksa militer utama. Pada dini hari
tanggal 1 Oktober 1965, anggota Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Sersan
Mayor Surono masuk ke dalam rumah Sutoyo di Jalan Sumenep, Menteng, Jakarta
Pusat. Mereka masuk melalui garasi di samping rumah. Mereka memaksa pembantu
untuk menyerahkan kunci, masuk ke rumah itu dan mengatakan bahwa Sutoyo telah
dipanggil oleh Presiden Soekarno. Mereka kemudian membawanya ke markas mereka
di Lubang Buaya. Di sana, dia dibunuh dan tubuhnya dilemparkan ke dalam sumur
yang tak terpakai. Seperti rekan-rekan lainnya yang dibunuh, mayatnya ditemukan
pada 4 Oktober dan dia dimakamkan pada hari berikutnya. Dia secara anumerta
dipromosikan menjadi Mayor Jenderal dan menjadi Pahlawan Revolusi.
7.
Kapten Pierre Tendean
Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean lahir
21 Februari 1939 – meninggal 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun. adalah seorang
perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30
September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen
dan kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan
pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah
kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dan bersama
enam perwira korban G30S lainnya, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi
Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1965. Pierre Andreas Tendean terlahir dari pasangan
Dr. A.L Tendean, seorang dokter yang berdarah Minahasa, dan Cornet M.E, seorang
wanita Indo yang berdarah Perancis, pada tanggal 21 Februari 1939 di Batavia
(kini Jakarta), Hindia Belanda. Pierre adalah anak kedua dari tiga bersaudara;
kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan Rooswidiati. Tendean
mengenyam sekolah dasar di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di Semarang
tempat ayahnya bertugas. Sejak kecil, ia sangat ingin menjadi tentara dan masuk
akademi militer, namun orang tuanya ingin ia menjadi seorang dokter seperti
ayahnya atau seorang insinyur. Karena tekadnya yang kuat, ia pun berhasil
bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) di Bandung pada tahun
1958.Pada pagi tanggal 1 Oktober 1965, pasukan Gerakan 30 September (G30S)
mendatangi rumah Nasution dengan tujuan untuk menculiknya. Tendean yang sedang
tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution terbangun karena suara tembakan
dan ribut-ribut dan segera berlari ke bagian depan rumah. Ia ditangkap oleh
gerombolan G30S yang mengira dirinya sebagai Nasution karena kondisi rumah yang
gelap. Nasution sendiri berhasil melarikan diri dengan melompati pagar. Tendean
lalu di bawa ke sebuah rumah di daerah Lubang Buaya bersama enam perwira tinggi
lainnya. Ia ditembak mati dan mayatnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama enam
jasad perwira lainnya.
8.
AIP Karel Satsuit Tubun
Ajun Inspektur Polisi Dua Anumerta Karel Satsuit
Tubun (lahir di Maluku Tenggara, 14 Oktober 1928 – meninggal di Jakarta, 1
Oktober 1965 pada umur 36 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia
yang merupakan salah seorang korban Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia
adalah pengawal dari J. Leimena.Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku
Tenggara pada tanggal 14 Oktober 1928. Ketika telah dewasa ia memutuskan untuk
masuk menjadi anggota POLRI. Ia pun diterima, lalu mengikuti Pendidikan Polisi,
setelah lulus, ia ditempatkan di Kesatuan Brimob Ambon dengan Pangkat Agen
Polisi Kelas Dua atau sekarang Bhayangkara Dua Polisi. Ia pun ditarik ke Jakarta
dan memiliki pangkat Agen Polisi Kelas Satu atau sekarang Bhayangkara Satu
Polisi. Ketika Bung Karno mengumandangkan Trikora yang isinya menuntut
pengembalian Irian Barat kepada Indonesia dari tangan Belanda. Seketika pula
dilakukan Operasi Militer, ia pun ikut serta dalam perjuangan itu. Setelah
Irian barat berhasil dikembalikan, ia diberi tugas untuk mengawal kediaman
Wakil Perdana Menteri, Dr. J. Leimena di Jakarta. Berangsur-angsur pangkatnya
naik menjadi Brigadir Polisi. Karena mengganggap para pimpinan Angkatan Darat
sebagai penghalang utama cita-citanya. Maka PKI merencanakan untuk melakukan
penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah Perwira Angkatan Darat yang
dianggap menghalangi cita-citanya. Salah satu sasarannya adalah Jenderal A.H.
Nasution yang bertetangga dengan rumah Dr. J. Leimena. Gerakan itu pun dimulai,
ketika itu ia kebagian tugas jaga pagi. Maka, ia menyempatkan diri untuk tidur.
Para penculik pun datang, pertama-tama mereka menyekap para pengawal rumah Dr.
J. Leimena. Karena mendengar suara gaduh maka K.S. Tubun pun terbangun dengan
membawa senjata ia mencoba menembak para gerombolan PKI tersebut. Malang,
gerombolan itu pun juga menembaknya. Karena tidak seimbang K.S. Tubun pun tewas
seketika setelah peluru penculik menembus tubuhnya.
9.
Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo
Brigjen Anumerta Katamso Darmokusumo (lahir di
Sragen, Jawa Tengah, 5 Februari 1923 – meninggal di Yogyakarta, 1 Oktober 1965
pada umur 42 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Katamso
termasuk tokoh yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September. Ia
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.
10. Kolonel Sugiono
Kolonel Anumerta R. Sugiyono Mangunwiyoto (lahir
di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul, 12 Agustus 1926 – meninggal di
Kentungan, Yogyakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 39 tahun) adalah seorang
pahlawan Indonesia yang merupakan salah seorang korban peristiwa Gerakan 30
September.Kol. Sugiyono menikah dengan Supriyati. Mereka memiliki anak enam
orang laki-laki; R. Erry Guthomo (l. 1954), R. Agung Pramuji (l. 1956), R.
Haryo Guritno (l. 1958), R. Danny Nugroho (l. 1960), R. Budi Winoto (l. 1962),
dan R. Ganis Priyono (l. 1963); serta seorang anak perempuan, Rr. Sugiarti
Takarina (l. 1965), yang lahir setelah ayahnya meninggal. Nama Sugiarti
Takarina diberikan oleh Presiden Sukarno.Ia dimakamkan di TMP Semaki,
Yogyakarta. (br)
HUMAS G4
Posting Komentar